Selasa, 08 November 2011

Perkembangan dan Kemajuan Linguistik di Indonesia pada kurun 1970—1980

            Ilmu linguistik di Indonesia dewasa ini berkembang dengan pesat. Studi linguistik di Indonesia diawali dengan kemunculan teori-teori yang dikembangkan sebagai hasil penelitian terhadap bahasa-bahasa lisan dan bukan bahasa tulisan. Kebanyakan ahli liguistik di Indonesia yang mengkaji bahasa Indonesia cenderung mengembangkan studi linguistik struktural, terutaaa sintaksis, semantik, dan morfologi. Sama halnya dengan kajian terhadap bahasa Indonesia, kajian terhadap bahasa daerah di Indonesia juga memiliki kecenderungan mengembangkan studi lingistik deskriptif atau struktural bahasa. Namun, perhatian terhadap aspek-aspek di luar struktur intern lebih bervariasi dari pada kajian bahasa Indonesia.
            Perkembangan kajian linguistik di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an ketika tenaga-tenaga ahli linguistik asal Indonesia yang kembali dari Amerika Serikat setelah menyelesaikan studi dalam ilmu linguistik di berbagai universitas di negara tersebut. Kembalinya tenaga-tenaga Indonesia dari amerika tersebut memberi dampak pada meningkatnya jumlah disertasi yang dibuat oleh para ahli linguistik di Indonesia. Jika perkembangan linguistik di Indonesia diukur menurut jumlah disertasi yang dibuat selama kurun waktu 50 tahun, antara tahun 1945 sampai dengan 1995, secara kuantitatif, terjadi peningkatan yang berarti. Peningkatan tersebut terutama terlihat pada kurun waktu antara tahun 1970-an dan tahun 1980-an. Pada awalnya, disertasi yang dihasilkan di Indonesia ditulis oleh para sarjana asing. Namun, pada perkembangan selanjutnya jumlah disertasi yang dihasilkan oleh sarjana asing terkejar oleh jumlah disetasi sarjana Indonesia.
            Pada kurun waktu tahun 1970 sampai dengan 1980, jumlah disertasi yang dihasilkan di Indonesia mencapai 47 buah, meningkat dari periode sebelumnya, yaitu tahun 1960—1970. Jumlah tersebut masih terus meningkat pada kurun 1980 sampai dengan tahun 1990 yang mencapai 73 disertasi. Pengadaan disertasi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor penting. Pertama, pelaksanaan program pendidikan tingkat S2, S3, dan Ph.D bagi tenaga-tenaga Indonesia yang dibiayai oleh Ford Foundation pada tahun 1970-an. Faktor kedua adalah pelaksanaan kerjasama antara pusat bahasa dengan Universitas Leiden melalui Indonesian Linguistics Development  Project (ILDEP). Proyek ini dimulai pada tahun 1975 dan berakhir pada tahun 1984, kemudian berlanjut pada tahun 1988 dan berakhir pada tahun 1992.
            Pada mulanya, disertasi yang dihasilkan di Indonesia pada kurun 1945—1960 ditulis oleh para sarjana Belanda. Permasalah yang mendapat perhatian, antara lain Sintaksis bahasa Melayu Klasik dan Modern oleh Emeis (1945) dan Roolvink (1948), Morfologi bahasa Jawa oleh Uhlenbeck (1949), dan Tipologi bahasa Irian Jaya oleh Boelaars (1950). Ketiga topik tersebut mencerminkan dua arah dalam perkembangan linguistik di Indonesia selanjutnya, yaitu perhatian terhadap bahasa Indonesia dan perhatian terhadap bahasa-bahasa Nusantara.
            Prinsip teoretis dari linguistik modern yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia adalah postulat-postulat Neo-Bloomfield. Beranjak dari pendekatan ini, pada tahun 1960, Kamil dan Moeliono merumuskan Beberapa pijakan dan saran untuk Pelaksanaan penelitian linguistik di Indonesia. Perumusan ini adalah usaha pertama yang mengutarakan secara sistematis dan komprehensif mengenai bagaimana studi bahasa di Indonesia hendak dikembangkan dengan berpijak pada dasar-dasar teoretis linguistik modern. Landasan pertama, tugas linguistik terpisah dari tugas antropologi, meskipun bahasa tetap dianggap sebagai aspek kebudayaan yang harus dikaji secara terpisah karena mengandung kaidah-kaidah yang bersifat inhern dengan studi antropologi. Dengan kata lain, bahasa dipadukan dengan dimensi sosial budaya sehingga tidak semata-mata dianggap sebagai alat yang memungkinkan berlangsungnya hubungan komunikasi. Namun, tugas linguistik tetap harus terfokus pada struktur bahasa.
            Beranjak dari struktur bahasa tersebut, konsep bahasa yang muncul adalah ujaran atau tuturan yang koherensinya ditentukan oleh aturan-aturan internal dan maknanya ditentukan oleh aturan-aturan eksternal yang terkait dengan konteks sosial-budaya. Melalui kerangka berpikir tersebut, dirumuskan tiga arah pelaksanaan linguistik di Indonesia, yaitu yang berkaitan dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan pengajaran bahasa asing. Linguistik bahasa daerah dianggap penting karena beberapa alasa, diantaranya dapat memperkaya bahasa Indoensia dalam hal pembendaharaan kata dan bentuk kata, dapat mengenal faktor-faktor penting yang menentukan corak dan struktur masyarakat Indoensia, dan dapat saling mengenal dan menghargai antara berbagai daerah di Indonesia.
            Melalui pijakan-pijakan tersebut, kajian linguistik di Indonesia mulai berkembang dan mengarah pada taraf yang lebih baik. Dalam kurun 1970—1980, tenaga-tenaga Indonesia yang pulang setelah menamatkan pendidikan tinggi di bidang linguistik di luar negeri mulai berperan dalam pengembangan kajian bidang linguistik di Indonesia. Tenaga-tenaga Indonesia tersebut diantaranya Amran Halim dan Anton Moeliono yang banyak berperan dalam pelatihan dan pengajaran bagi mereka yang hendak meningkatkan pengetahuanya dalam berbagai cabang linguistik. Secara kuantitatif, usaha ini telah mampu menambah jumlah tenaga terampil yang mampu mengumpulkan data lapangan dan melakukan analisis sederhana terhadap data itu.

Bidang Kajian yang Menjadi Perhatian Pokok para Linguis Indonesia
            Pada kurun 1970—1980, mulai terlihat aspek-aspek dari studi linguistik yang dijadikan perhatian utama bagi linguis-linguis di Indonesia. Kebanyakan menyangkut pengkajian terhadap struktur internal bahasa Indonesia, dari fonologi sampai pada studi teks tertulis. Studi mengenai struktur kalimat dikemukakan oleh Darjowidjojo (1966), sedangkan studi tentang aspek struktur yang lebih khusus dikemukakan oleh Butarbutar (1976) dan Sudaryanto (1979). Kajian semantik muncul pada tahun 1977 oleh Tampubolon, sedangkan kajian morfologi muncul pada tahun 1979 oleh Simatupang.
            Perkembangan studi linguistik selanjutnya menunjukkan bahwa perhatian terhadap bahasa Indoneisa lebih banyak ditunjukkan pada persoalan struktural, terutama pada tataran sintaksis. Namun, perhatian terhadap permasalahan bahasa Indonesia dari perspektif sejarah, konteks sosial, dan kaitannya dengan penggunaan bahasa lain masih mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari karya yang dihasilkan oleh Anwar dan Abas yang mengombinasikan studi struktural dengan perspektif sosiolinguistik. Selain itu, Diah (1982) memandang kebijaksanaan pengembangan bahassa Indonesia dari sudut pandang pembuatan kurikulum pengajaran, sedangkan Moeliono (1981) memandanag bahasa Indonesia dari sudut alternatif perencanaan. Karya ini menjadi dasar teoretis dalam usaha-usaha praktis perencanaan bahasa seperti penyempurnaan ejaan bahasa Indonesia dan pengembangan peristilahan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu hasil yang menonjol adalah perumusan kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan pada tahun 1972.
            Dalam kajian linguistiik bahasa daerah, perhatian terhadap permasalahan deskriptif dan struktural suatu bahasa masih sangat besar seperti halnya dengan bahasa Indonesia. Persoalan struktural yang paling banyak dibicarakan adalah Morfologi, sintaksis, dan semantik. Sebagian besar disertasi mengenai bahasa daerah di Indonesia berkaitan dengan bahasa Jawa, Batak, Bugis, Betawi, Gorontalo, Minangkabau, Toraja, Lamalera, dan Kerinci. Sejauh ini, terlihat bahwa orientasi studi linguistik di Indonesia terarah pada persoalan yang menyangkut struktur internal bahasa, khususnya pada tataran sintaksis dan morfologi, baik dalam penelitian bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
Sejajar dengan arah perkembangan ini, berkembang pula studi bahasa yang lebih terorientasi pada kaitan-kaitan eksternal, baik berupa distribusi geografis dan asal-usul bahasa yang masih berkaitan dengan migrasi penduduk, maupun sarana komunikasi dalam interaksi sosial dan sarana pengungkap yang memberikan makna dan dasar bagi eksistensi kehidupan yang bersifat kolektif. Studi ini muncul setelah tahun 1970 dan masih berada dalam batas tradisi linguistik struktural. Studi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi geografis kebahasaan atau geografi dialek dan masalah asal-usul bahasa-bahasa Nusantara melalui pendekatan-pendekatan komparatif. Karya pertama dalam geografi dialek adalah disertasi Ayatrohaedi (1978) yang menerapkan pendekatan ini terhadap dialek bahasa Sunda di Cirebon.
Seiring dengan perhatian terhadaap penyebaran geografis dari bahasa dan dialek dalam satu wilayah tertentu, muncul pula perhatian terhadap persoalan mengenai dimana wilayah asal dan bagaimana bentuk awal dari bahasa-bahasa yang tersebar itu. Kajian yang menjawab pertanyaan ini mulai dilakukan dan dirumuskan oleh Usup (1986) dan Fernandez (1988). Sementara itu, studi bahasa yang lebih terorientasi pada kaitan-kaitan eksternal  yang berupa sarana komunikasi dalam interaksi sosial dan sarana pengungkap yang memberikan makna dan dasar bagi eksistensi kehidupan yang bersifat kolektif terlihat dalam studi Sosiolinguistik bahasa Jawa oleh Sadtono (1972) dan Soebandi (1975) dan Etnografi Komunikasi bahasa Jawa oleh Kartomiharjo (1979).
Tenaga-tenaga ahli dalam bidang linguistik tersebut memiliki peran yang besar dalam perkembangan kajian linguistik di Indonesia. Para ilmuwan linguistik Indonesia tersebut memperoleh pendidikan dalam bidang linguistik deskriptif, historis-komparatif, dialektologi, sosiolinguistik, etnolinguistik, dan psikolinguistik. Di bagian awal, telah disebutkan bahwa kajian linguistik terpisah dengan kajian antropologi. Namun, jika keahlian linguistik dikombinasikan dengan pengetahuan antropologi, terbuka lapangan profesi yang berpotensi besar dan menarik bagi para ahli antarbidang ini, baik sebagai ilmuwan bidang antropologi linguistik, maupun bidang linguistik antropologi. Hal ini tentu saja berkaitan dengan peranan ilmu linguistik yang didefinisikan dalam konteks pembangunan dan pengembangan masyarakat Indonesia.

1 komentar: